Popular Posts

Saturday, December 27, 2008

Kertas Semen Pengganti Rotan


EKSPOR bahan baku rotan yang dibuka pemerintah membuat pengusaha rotan di Cirebon semakin kesulitan untuk mendapatkan bahan baku rotan. Pengusaha yang tidak melakukan inovasi-inovasi banyak yang kolaps dan gulung tikar.

Menurut salah satu pengusaha rotan Tegalwangi, Suhermanto, saat ini pasokan bahan baku rotan hanya sekitar 1000 ton per bulan padahal sebelum ekspor bahan baku dibuka bisa mencapai 4000 ton per bulannya.

"Kini hanya tinggal pengusaha yang kuat modal saja yang mampu bertahan. Caranya, terus melakukan inovasi mencari pengganti rotan, membuat model-model furniture terbaru dan kerja keras," katanya.

Salah satu inovasi yang dilakukan adalah memanfaatkan bahan-bahan sekitar sebagai pengganti rotan, seperti enceng gondok, serat nanas atau kertas semen.

Seperti dilakukan pengusaha rotan asal Tegalwangi Agus Yamin yang sudah sejak tiga tahun memanfaatkan kertas semen sebagai pengganti rotan.

Hasilnya, "rotan" dari kertas semen ini sangat mirip dengan rotan yang sebenarnya. Baik dari warnanya, ukuran dan bentuknya.

"Waktu itu saya jalan-jalan ke Italia dan melihat sebuah kursi rotan.Namun setelah diamati ternyata bukan rotan tetapi kerta yang biasadigunakan untuk kertas semen yang dipilin dibentuk seperti rotan. Dari situlah ide muncul," katanya.

Kursi yang dibuat memang tidak semuanya menggunakan kertas, namun tetap sebagian menggunakan rotan untuk kerangkanya atau besi baja,kayu jati dan bambu ukuran besar atau rotan mix.

Meski sudah menemukan alternatif pengganti rotan dengan menggunakan kertas semen, hambatan tetap saja muncul. Selain rotan yang sangat sulit mendapatkannya, bahan baku kertas semen pun juga sulit diperoleh. Kalaupun ada, kertas semen tersebut sudah kotor atau masih terdapat tulisan merek semennya sehingga perlu didaur ulang.

Dan lagi-lagi kebutuhan kertas semen ini tetap harus mengimpor dari luar negeri. Agus sendiri mengimpornya dari swedia. Tidak sia-sia ternyata hasil produksi furniture berbahan kertas semennya sangat diminati oleh pasar Eropa Barat.

Ditegalwangi sudah ada beberapa yang menggunakan rotan kertas semen ini, namun tetap saja bahan bakunya mengimpor dari Italia.

"Kami butuh perhatian dari pemerintah. Selama ini sepertinya kami dilupakan dan hanya bekerja sendiri. Mungkin pemerintah bisa membantu menciptakan mesin daur ulang kertas semen bekas agar tidak perlu impor."

Enjo Juga Sukses Bertani Bunga Matahari


Selain menjadi pionir dengan budidaya jamurnya, Enjo yang juga ketua KTNA Kota Cirbeon juga menjadi pioner dengan budidaya bunga matahari. Nah, foto ini adalah hasil tanaman bunga matahari yang lahannya tidak jauh dari kumbung jamur kardusnya itu , lho. Tertarik?

Menambah Pendapatan dengan Budidaya Jamur Kardus

Meski usianya sudah mencapai 62 tahun namun Enjo Suharjo masih terlihat energik saat bercerita tentang usahanya merinstis pembuatan jamur kardus. Disebut demikian karena jamur merang (Volvarielle volvaceae) tersebut dibudidayakan pada median kertas kardus.

Titik-titik putih bakal jamur merang nampak pada median jamur yang tertata rapi pada rak-rak yang terbuat dari kayu dan bambu dalam kumbung (rumah berdinding anyaman bambu berukuran 4x4 m) di lahan tidur milik instansi militer di Kota Cirebon. Ada lima kumbung yang berjajar rapi dan dua kumbung kecil sebagai tempat belajar bagi siswa ataupun masyarakat membudidayakan jamur kardus ciptaannya.

Jamur kardus ternyata cocok tumbuh di Cirebon yang memiliki suhu panas. Jamur ini tumbuh optimal pada suhu 28 hingga 32 derajat Celsius. Meski demikian untuk mengatur pada keadaan suhu yang diperlukan rak-rak tempat median jamur tersebut ditutupi plastik bening dan suhunya dikontrol dengan thermometer.

Dia mengatakan jamur kardus bukanlah teknologi baru. Pada 1985, ketika masih berdinas sebagai penyuluh pertanian, Enjo menemukan sekelompok petani di Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, telah membudidayakan komoditas ini. Namun mereka tidak menggunakan media kardus, melainkan kertas bekas puntung rokok. Dia lalu mencoba merubah media jamur dengan kertas kardus dan berhasil.

Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, usaha petani di Losari ini tidak bertahan. Padahal, menurut Enjo, usaha ini menjanjikan keuntungan. Dengan masa panen tiga minggu untuk satu kali pembuatan media, keuntungan bisa dipetik sejak awal minggu ketiga.

Dalam perhitungannya dari satu paket media dalam satu kumbung memerlukan sekitar 1 kwintal median kardus yang sudah dicampur dengan bekatul dan kapur. Paket tersebut menghasilkan minimal 50kg-60 kg jamur per bulan. Bahkan jika perlakuan petani bagus dalam 1 kwintal media jamur bisa menghasilkan lebih dari 1 kuintal jamur. Setiap bulan paket media jamur harus diganti dengan yang baru agar produksi jamur maksimal.

“Pesarnya tidak sulit. Saya sendiri setiap minggu menyuplai sebuah rumah makan di Cirebon antara 15kg-20kg. Belum lagi pasar tradisional di Cirebon juga menerima jamur merang,” kata dia.

Harga jamur dari tahun ketahun selalu naik, pada 2001 saat merintis jamur kardus harganya hanya Rp6.000 per kg namun sekarang bisa mencapai Rp15.000 ditingkat petani dan Rp18.000-Rp20.000 per kg ditingkat pengecer. Jadi bisa dihitiung omset setiap bulan yang bisa diperoleh petani jamur.

Enjo mengatakan dari survei yang dilakukan kebutuhan jamur merang di pasar tradisional di Cirebon mencapai 2-3 kuintal perhari. Jumlah itu belum bisa dipenuhi oleh para petani jamur yang ada di Cirebon.

Bagi yang ingin membudidayakan jamur kardus bisa belajar dari buku yang dibuat Enjo pada pada awal 2007 yang menceritakan tentang cara menanam jamur kardus.

Friday, December 26, 2008

Batik Paseban Kuningan, Jabar

Batik Paseban Cigugur Kuningan, keberadaannya semakin menampakan jati dirinya. Selama enam tahun sebuah penelusuran yang panjang dilakukan oleh P.Djatikusumah untuk menghidupkan kembali warisan leluhurnya.

Pangeran Djatikusumah melakukan penelusuran batik Paseban yang dianggap punah. lewat pendalaman jiwa seninya yang ditemukan melalui ukir dan relief . Jika dicermati batik Paseban memiliki karakter yang berbeda dengan batik yang telah ada di Jawa Barat, khususnya Garut dan Cirebon yang terkenal dengan motif Wadasan.

Dia memprakarsai penelusuran ini karena panggilan jiwa seninya dan tanggungjawab terhadap warisan budaya batik yang telah menjadi kebanggaan dunia.

"Kami selain menjaga dan melestarikan milik leluhur, juga menjaga asset bangsa ini, agar anak-anak kita paham kalau kita memiliki kekayaan budaya,"

Menurut dia, proses ini dilakukan sejak tahun 2003 dengan menggali dan meng-eksplorasi batik-batik itu dan terkumpul sebanyak 200 motif batik Paseban.
Motif-moif yang telah direproduksi dari hasil penggaliannya diantaranya, Mayang Segara, Geger Sunten, Oyod Minggang, Aduh Manis,Rereng Pwah Aci, Sekar Galuh dan Rereng Kujang.

Dikatakan, batik masih mendapat tempat di hati masyarakat, terlebih wisatawan mancanegara maupun domestik dan pemerhati batik merasa tertarik dengan batik Paseban. Hal itu setelah beberapa kali mengadakan promosi seperti pameran-pameran.

"Promosi kami bukan seperti pengusaha batik yang mapan kang, tapi kami yakin, bahwa ini adalah warisan budaya bangsa yang perlu untuk diperkenalkan kembali khususnya kepada masyarakat Kuningan," tutur Tati, salah seorang putri P. Djatikusumah.

Walau dalam skala kecil, batik Paseban memiliki prospek usaha yang signifikan, hal ini ditunjang oleh pengrajin kaum ibu serta masyarakat. Bahkan ada yang dikerjakan di rumah masing-masing.

Pengerjaan batik berawal dari merancang desain, kemudian melukiskannya pada selembar kain putih baik Prima Sima maupun Primis Sima, kemudian dilakukan merengreng atau melukis dengan malam di atas kain.

Tahap berikutnya menutup atau nembok, proses ini berkaitan dengan pewarnaan. Setelah proses ini, kemudian dilanjutkan pencelupan kain yang telah tertutup malam secara keseluruhan.

"Tahap demi tahap yang rumit ini jika tidak dilakukan dengan cermat dan teliti, akan menemukan ketidak sempurnaan pada hasil akhir dari proses pembatikan yang dilakukan secara manual (tradisional). Memang di sanalah keindahan sebuah batik tulis," papar Tati.

Batik sebagai warisan budaya, keberadaannya sangat strategis karena berkaitan dengan industri kain, juga tata busana. Sebagai hasil industri, batik memliki nilai startegis karena mampu menyerap tenaga kerja.

"Pada sisi lain batik mempuyai nilai historis yang tolok ukurnya pada rasa kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki nilai budaya yang adiluhung. Sebagai milik bangsa batik tentunya memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat kita," kata Tati..

Nilai budaya serta kesakralan saat orang memakai busana motif batik menaikan citra tersendiri. Batik Paseban setahap demi setahap sampai pada tujuan akhirnya yaitu meramaikan perbatikan Nasional.

Terlebih dengan kemunculan di Cikeas-Bogor dalam acara Pameran Pengrajin yang dihadiri oleh Ibu Ani Yudhoyono beberapa waktu yang lalu. Batik Paseban telah mewarnai peta perbatikan di tanah air.

40 tahun, Handoko Hidup Dari Manisan Mangga

CIREBON : Penjualan manisan mangga produksi Handoko, di Jl. Arya Kemuning, Kota Cirebon sudah merambah keseluruh pelosok negeri meski akhir-akhir ini volume penjualannya dirasakan menurun.

Handoko mengatakan bisnis rumahan pembuatan manisan mangga sudah digeluti sejak 40 tahun lalu dan kini sudah diturunkan kepada anaknya untuk meneruskan usahanya tersebut.

"Saya memulai sejak belum menjadi apa-apa, kini sudah lumayan besar dengan tenaga kerja bisa mencapai 30 orang," katanya disela-sela menjemur manisan didepan rumahnya.

Kini selain manisan mangga, berbagai buah juga tengah divariasikan sebagai bentuk manisan lain seperti manisan belimbing hingga manisan bunga rosela. Selain memasok ke luar Cirebon bahkan hingga ke Bali, manisannya juga menjadi oleh-oleh khas Cirebon yang dijual di toko manisan Shinta.

"Penjualan ke pusat manisan di Cianjur kini sudah turun drastis pasca beroperasinya tol Cipularang," ujarnya.

Dulu, kata dia, manisan buatannya setiap bulan bisa dikirim hingga 6 kwintal namun setelah tol beroperasi paling banyak hanya 1 kwintal yang dikirim ke Cianjur. Cianjur sudah tidak lagi menjadi pusat manisan karena jumlah pedagangnya juga mulai berkurang apalagi pembelinya.

Nampak didepan rumah Handoko, puluhan tampah terbuat dari anyaman bambu untuk menjemur manisan berwarna putih, merah dan kuning. Usahanya 100% menggunakan cara-cara tradisional dan alami.

Pengeringan menggunakan sinar ultraviolet dari matahari dan pemanis menggunakan gula tebu tanpa campuran."Manisan jadi bisa tahan lama".

Batik Trusmi Diserbu Pembeli Luar Kota

Sentra batik tradisional khas Cirebon, Trusmi, selama liburan natal dan menjelang tahun baru nampak ramai. Sejumlah kendaraan bernomor polisi Jakarta, Bandung atau luar kota lainnya nampak parkir di rumah-rumah atau showroom yang menjual kain batik.

Seorang pengunjung dari Jakarta, Shanti mengatakan, sengaja mampir ke Trusmi untuk membeli kain batik sebagai oleh-oleh setelah berlibur di Cirebon.

"Kalau ke Cirebon tidak beli batik Trusmi rasanya ada yang kurang," katanya yang datang beserta rombongan keluarga dengan kednaraan pribadi.

Sementara itu sejumlah pengunjung nampak asyik melihat dan memilih kain batik di show room batik seperti batik Gunung Jati atau Batik Nova dan Batik Katura.

Di sentra Batik Katura bahkan nampak seorang konsumen dari Jepang sedang memilih corak batik khas Cirebon seperti mega mendung dan motif binatang.

"Di Jepang juga sudah ada batik, tapi disini batiknya halus dan more beautiful," katanya dengan bahasa Indonesia terpatah-patah.

Diakui penjaga toko batik di Trusmi, pada liburan natal dan jelang tahun baru tahun ini penjualan batik naik sekitar 25% - 30%.